Bismillah.
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya; sang nabi akhir zaman pembawa rahmat bagi segenap insan. Amma ba’du.
Islam sebuah agama yang mulia. Agama yang mengajarkan tauhid kepada Allah dan akhlak mulia kepada manusia. Memahami agama Islam menjadi kunci segala kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah jadikan dia paham dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ilmu aqidah merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh sebab itu sebagian ulama terdahulu menyebut ilmu aqidah sebagai fiqih akbar. Karena dalam ilmu aqidah inilah kita akan mengerti pokok-pokok ajaran agama (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitabnya Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hlm. 34-35)
Kebutuhan hamba terhadap ilmu aqidah ini di atas segala kebutuhan. Keterdesakan mereka terhadapnya di atas segala perkara yang mendesak. Karena tidak ada kehidupan bagi hati, tidak ada ketentraman bagi jiwa kecuali dengan pengenalan kepada Rabbnya, sesembahannya, yaitu Dzat yang telah menciptakan dirinya. Hal itu akan terwujud dengan mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya. Dengan demikian seorang hamba akan lebih mencintai Allah di atas kecintaan kepada selain-Nya dan dia pun akan senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dan tidak menujukan ibadah kepada selain-Nya (lihat keterangan Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah dalam Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 69)
Diantara fenomena yang sangat memprihatinkan di masa kini adalah banyaknya para da’i yang kurang memperhatikan perkara aqidah. Bahkan sebagian mereka terkadang mengatakan, “Biarkan saja manusia dengan aqidah mereka! Kalian tidak perlu menyinggungnya! Yang penting bersatu, jangan suka berpecah-belah! Kita bersatu dalam apa-apa yang kita sepakati dan kita saling memberi toleransi dalam hal-hal yang kita perselisihkan.” Demikian kurang lebih isi ungkapan mereka. Padahal tidak ada persatuan dan kekuatan kecuali dengan cara kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah terutama dalam hal-hal aqidah yang notabene merupakan pondasi agama (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hlm. 7)
Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan pokok terpenting dalam agama Islam. Islam digambarkan seperti sebuah bangunan yang pondasinya adalah dua kalimat syahadat. Kalimat laa ilaha illallah merupakan asas keimanan. Di dalamnya terkandung kaidah-kaidah di dalam aqidah.
Kalimat laa ilaha illallah memiliki dua rukun; penolakan sesembahan selain Allah dan penetapan ibadah hanya untuk Allah. Penolakan disebut dengan istilah nafi, sedangkan penetapan disebut dengan istilah itsbat. Kedua rukun ini harus terpenuhi dalam aqidah dan ibadah seorang muslim.
Artinya, dia tidak boleh menujukan ibadah kepada selain Allah. Karena hanya Allah yang berhak menerimanya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Asas keimanan inilah yang dikenal dengan tauhid kepada Allah. Tauhid bermakna pengesaan. Maksudnya adalah mengesakan Allah dari segala bentuk tandingan. Allah Mahaesa dalam hal Dzat-Nya, nama dan sifat-Nya, perbuatan-Nya, rububiyah-Nya, dan begitu pula dalam hal keberhakan untuk mendapatkan ibadah dan penghambaan. Secara ringkas, tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya. Tauhid ini lah hikmah dan tujuan diciptakannya jin dan manusia.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ibadah merupakan perpaduan antara puncak perendahan diri dan puncak kecintaan, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memaparkan bahwa ibadah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik itu berupa ucapan maupun perbuatan; yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada suatu kedudukan/maqam yang lebih utama dan lebih agung bagi manusia kecuali posisi sebagai hamba. Oleh sebab itu Allah memuji rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kesempatan yang mulia tatkala Allah angkat beliau untuk menerima kewajiban sholat dalam peristiwa mi’raj dengan sebutan sebagai ‘hamba’.
Iman itu sendiri mencakup ucapan, keyakinan, dan perbuatan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Iman kepada Allah merupakan pondasi bagi rukun-rukun iman yang lainnya; iman kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir. Barangsiapa mengingkari salah satu rukun iman maka dia tidak termasuk golongan kaum beriman. Apalagi jika yang diingkari adalah rukun iman yang pertama; yaitu iman kepada Allah.
Iman kepada Allah sesungguhnya perkara yang sangat jelas dan gamblang pada dasarnya. Keyakinan tentang adanya Allah dan keesaan Allah dalam hal rububiyah adalah fitrah yang tertanam dalam hati setiap insan. Bahkan orang Arab badui pun bisa mengenali Allah dengan bukti-bukti sederhana, tanpa mereka harus belajar di sekolah atau kuliah.
Mereka mengatakan :
Tahi onta menunjukkan adanya onta
Dan bekas-bekas kaki menunjukkan adanya rombongan perjalanan
Akan tetapi fitrah ini tidak cukup untuk bisa melaksanakan perintah ibadah kepada Allah dengan rinci. Oleh sebab itulah Allah mengutus para nabi dan rasul serta menurunkan kitab-kitab-Nya kepada umat manusia. Dalam rangka mengajarkan kepada mereka petunjuk dan agama yang benar. Mengajarkan tauhid kepada manusia dan memperingatkan mereka dari kesyirikan.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu -wahai Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ : 25)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan; Janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya…” (al-Israa’ : 23)
Salah seorang ulama guru dari para ulama yang ada di masa kini, Syaikh Zaid al-Fayyadh rahimahullah (wafat 1416 H) menjelaskan dalam kalimat yang ringkas tentang makna iman kepada Allah. Beliau berkata : Iman kepada Allah maknanya adalah keyakinan yang kuat bahwasanya Allah adalah Rabb/pengatur segala sesuatu dan penguasanya. Bahwa hanya Allah yang menciptakan. Bahwa Allah yang berhak mendapatkan pemurnian ibadah, perendahan diri dan ketundukan. Dan hanya Allah yang berhak menerima segala bentuk ibadah. Bahwa Allah yang memiliki sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan. Allah tersucikan dari segala keburukan dan kekurangan (lihat ar-Raudhah an-Nadiyah Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, hal. 50)
Para ulama pun telah menjelaskan bahwa tauhid kepada Allah mencakup :
– Tauhid rububiyah; mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya
– Tauhid uluhiyah; mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya
– Tauhid asma’ wa shifat; mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya
Adapun tauhid rububiyah maka tidak ada perselisihan -secara umum- antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Adapun tauhid uluhiyah maka di sinilah letak perselisihan antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Adapun tauhid asma’ wa shifat terjadi padanya perselisihan diantara kaum muslimin (lihat Syarh Kitab at-Tauhid min Shahih al-Bukhari karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, hal. 27-28).
Diantara pembahasan paling utama untuk ditekankan di tengah kaum muslimin di saat ini adalah pembahasan tentang tauhid uluhiyah. Karena inilah misi utama dakwah para rasul. Oleh sebab itu para ulama kita banyak mengupas perkara tauhid ini dalam karya dan ceramah mereka. Diantaranya adalah Kitab Tauhid, Ushul Tsalatsah, Qawa’id Arba’, dan Tafsir Kalimat Tauhid karya dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (wafat 1206 H).
Mengenalkan tauhid kepada masyarakat tidak cukup hanya dengan mengenalkan Allah sebagai pencipta, penguasa dan pengatur alam. Karena keyakinan semacam ini belum memasukkan ke dalam Islam. Mengenalkan tauhid juga tidak cukup hanya dengan mengajarkan kalimat laa ilaha illallah. Betapa banyak orang yang mengucapkan kalimat tauhid ini tetapi tidak memahami maksud dan konsekuensinya. Umat harus disadarkan bahwa tauhid menuntut kita beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan segala bentuk syirik kepada-Nya. Maka ibadah apapun tidak boleh ditujukan kepada selain Allah; apakah itu malaikat, nabi, atau wali.
Tidaklah datang perintah untuk bertauhid melainkan bersamanya terkandung larangan dari berbuat syirik. Karena tauhid tidak akan bisa terwujud kecuali dengan menjauhi syirik. Kedua hal ini -bertauhid dan menjauhi syirik- adalah dua perkara yang tidak bisa dipisahkan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru kepada selain Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18). Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka berdoalah kepada Allah dengan memurnikan baginya agama/amalan.” (Ghafir : 14) (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 12-13)